RSS

Pesona Kampung halaman


Mengintip Matahari



Biji-Biji Kopi


Kapolaga & Albasiyah

Kehijauan

Catatan Perjalanan Pantai Selatan

Nyanyian Ombak yang selalu sendu, memupuk rindu, jiwa yang Syahdu

“Jangan Tahun ini Mamah Lagi Riweuh”

Itu adalah kata-kata kangjeng Mamih sebulan yang lalu. Tentunya ada penyebab-penyebab yang mengiringi, sebelum kata-kata tersebut terucap. Saya adalah termasuk orang yang suka menuliskan rencana lumayan rinci untuk hal-hal tertentu. Juga sangat rajin mengkomunikasikan apa yang menjadi harapan, cita-cita dan rencana hidup kepada orang-orang terdekat terutama keluarga.

Yaa…. termasuk yang satu itu. Saya sendiri lupa sejak kapan awal mula menyebut akhir bulan 2012 yaitu bulan Nopember or Desember sebagai bagian dari waktu penting dalam rencana hidup saya

Singkat kata singkat cerita, ternyata planing akhir tahun tertunda sampai waktu yang belum ditentukan. Ada banyak faktor yang menurut teori mempengaruhi ke tidak berjalanan rencana kegiatan tersebut. Diantaranya; Faktor SDM yang pindah ke lain hati, faktor sarana prasarana, mental, spiritual, nominal eeehh dll. Tapi yang terpenting dari semuanya adalah Allah swt belum mengijinkan.

Kembali ke judul, tanpa di kira tanpa di duga, saat sedang membahas mau beli kado apa untuk hadiah pernikahan sahabat sewaktu SD. Tiba-tiba kangjeng Mamih berucap seperti yang tertera di judul tulisan ini. “Jangan Tahun ini Mamah Lagi Riweuh”

Saat itu Cukup Ekspresi 2-2-7 yang bisa saya berikan. Owh… No! sudah di PHK secara sepihak, eh pesangonnya malah di KREDIT. Seperti lagunya Bondan (Yaa Sudaaaaaaaah Lah)

Note:
CURHAT tambahan:
Ternyata perubahan skenario yang mendadak dan tiba-tiba itu bukan hanya mengecewakan tapi melukai. Tak tergambar bagaimana pedihnya, sampai-sampai tak satupun air mata tertetes. Merasakan selama satu minggu terjaga itu menakutkan. Dan setelah mata bisa terpejam pun, masih ada mimpi-mimpi buruk yang membayangi.

Guncangan hidup, bahkan tragedi, tentu ingin kita hindari, sebisa kita. Namun, ada kalanya ia tetap datang. Tinggal bagaimana kita menempatkan diri, setelah periode yang berat itu. Alangkah bermaknanya, bila semua pada akhirnya mendewasakan kita. Meski duka tak bisa sama sekali sirna, tapi kita menjadikannya sebagai energi.

Berani menjadi dewasa adalah suatu pilihan. Sesulit apapun situasinya, kita harus tetap dapat mengajak diri kita untuk meraih tahapan kedewasaan. Mencapai tahap kedewasaan ini amat bermakna. Maka, semestinya kita berani menggapai fase kedewasaan tersebut, yang tidak dinilai dari faktor usia semata, namun kemampuan kita untuk mengkaji segalanya dari kaca mata semestinya. Kaca mata manusia yang berusaha mencapai kematangan pola pikir dan rasa.

Kawan! siapa pun kita, sudah punya takdir masing-masing. So, Lets MOVE ONN…


Dulu, Sekarang, Selamanya

Cerita persahabatan....

MOVE ONNNNNNNNN

Tak peduli apapun yang telah terjadi, aku masih berdiri. Saat ini waktunya untuk bergerak dan maju. Mari Teriakan pada dunia, bahwa Sang Pendekar telah memulai perjalanan.

Aku dan Sayap Bidadari








Itu adalah burung yang sayapnya patah. 
Kira-kira apa yang akan orang-orang pikirkan saat melihat burung tersebut? 

Iba.......?  

kasihan......?  

peduli.....? 

atau acuh.....?

Mungkin kita akan mendapatkan banyak pendapat, tanggapan dan jawaban yang beragam. Tentunya, sesuai dengan sudut pandang masing-masing pribadi.

Tapi, kenapa tidak kita tanyakan kepada  yang sayapnya pernah  patah.




“Hal yang paling membahagiakan didunia ini adalah menjadi putri Ayah"








 "juga menjadi putri Ibu”



Tak peduli apakah  sayapku yang  patah, atau kakiku yang patah, atau mungkin leherku yang patah.

Karena, hal yang paling membahagiakan di dunia ini bukan karena aku memiliki hal yang lain.  
Menjadi putri Ayah & Ibu adalah hal yang paling membahagiakan semenjak aku dilahirkan ke dunia, hingga saat ini.






Ramadhanku Tahun Ini 1433 H

Lama tidak menuliskan sesuatu disini. Mhm... begitu banyak peristiwa yang ingin saya bagi. Tentunya sebagai kesyukuran kepada Allah swt yang telah menganugerahkan semua karunianya. Namun, sepertinya tidak akan begitu detail, kalau dibagikan hanya dalam sebuah judul tulisan. Semoga kedepan saya bisa membagi semuanya dengan lebih rinci.

Baiklah, yang ingin saya bagi adalah 15 Juli 2012 akhirnya saya diwisuda juga hehe.. sebenarnya udah lulus diawal tahun, tepatnya 03 Januari 2012, cuman baru ikutan wisudanya kemarin hehe (photo2 wisudanya nanti nyusul yaa...)

Bisnis saya apakabar yaa,,, Mhm.. yang paling mengasyikan itu adalah bertahan. BERTAHAN dengan segenap jiwa dan raga. Juga sebuah keyakinan yang selalu tertancap teguh pada diri. Bisnis bagi saya adalah kontribusi dan harga mati.

Khalaqahku,, Alhamdulillah' meski penuh sekali rintangan, saya berusaha untuk tetap dalam barisan. meskipun, baru hanya bisa menjadi suporter di belakang layar.

PERMADANIKU,,, akh ini panggilan jiwaku. sekuat apapun godaan untuk meninggalkanmu, aku selalu kembali padamu. Jika Bisnis adalah Kontribusi, dan Dakwah adalah Prestasi maka Kerja itu adalah Ibadah. dan kerjaku adalah PERMADANI, di Ramadhan tahun ini, kami sudah memiliki 100 adik asuh alhamdulillah..

Aku saat ini, selain terus menyusun bata demi bata istana mimpiku, Allah memberi kesempatan untuk saya kuliah lagi.. Alhamdulillah, karunia yang sama sekali tidak terpikirkan oleh saya. "saat ini, aku masih mahasiswa" hehe dan juga masih "Unyu, free & Single haha"... yang terakhir boleh diabaikan.

10 hari terakhir,, mesjid salman selalu menjadi pilihan. Mesjid Salman, selalu menitipkan rindu yang sulit untuk di urai. Rabbku, ijinkanlah aku beri'tikaf lagi tahun depan di Mesjid Salman.

akhirnya,, hanya terucap "Alhamdulillah..." atas semua karuniamu wahai Rabbku!!!





Celupan & Perubahan

Menara tua itu masih tetap setia menjadi teman bagi mereka. Setia merelakan pelatarannya dijejali sejumlah manusia yang hampir semuanya berpenampilan tak biasa. Itulah mereka; sampah masyarakat, orang-orang tak berguna, dan gelandangan pembuat resah masyarakat. Paling tidak, tiga hal ini sudah cukup menjadi citra dominan mereka di dalam benak kebanyakan orang.

Sebelas lebih 30 menit, tepat. Inilah waktu yang ditunjukkan oleh jam dinding yang terpasang di menara tempat sampah-sampah masyarakat itu berkumpul dan bercengkerama. Asap rokok membumbung menuju ke langit, seolah punya niat hendak menundukkan keperkasaan sang raja siang. Lagu yang syairnya berisi hujatan terhadap pemerintah pun terdengar membahana, keluar secara serempak dari mulut-mulut mereka. Dibersamai iringan dua buah gitar yang dimainkan dua orang dari mereka, dan satu buah alat tabuh yang dimainkan salah satu dari mereka.

Di sebuah sudut, Jazuri menyaksikan seorang pria yang juga berpenampilan serupa dengan sampah-sampah masyarakat itu. Duduk terpekur sendirian. Terpisah dari hingar-bingar teman-temannya yang lain. Sebatang rokok terapit di sudut bibirnya yang hitam dicat lipstik. Asap pun mengelun dari bibir dan lubang hidung pria itu.

Jazuri mendekati pria yang terpisah dari komplotannya itu. Ia mendapati mata sang pria sedang tertuju ke arah sebuah bangunan artistik yang tepat berada di seberang pria itu. Bangunan itu adalah Masjid, tempat yang hendak dituju Jazuri untuk melaksanakan shalat Zhuhur.

Tatkala pria itu tahu ada seorang Jazuri yang hendak mendekat ke arahnya, matanya seketika beralih tajam menatap Jazuri. Gayanya yang menyeramkan pun semakin kentara dengan jelas. Sederet anting nampak terpasang pada kedua telinganya. Tak mau ketinggalan, bibirnya juga ia pasangi anting. Hidungnya pun demikian, dipasangi anting juga. Bibir matanya dicat berwarna hitam. Rambutnya berdiri kaku layaknya rambut seekor landak. Sebagian sengaja dipangkas habis, sebagian lagi sengaja dibiarkan tumbuh. Nampak begitu kumal dan tak terawat. Celananya ketat dan juga penuh tambalan. Bajunya kumal tak pernah dibersihkan. Kok bisa ada orang macam ini ya? Batin Jazuri pun berbisik demikian.

“Shalat yuk..” Ajak Jazuri setibanya ia di tempat pria yang sedang duduk terpekur itu. Berusaha berucap sesantun mungkin.

Tak didapatinya sebuah jawaban dari mulut sang pria. Mata sang pria malah kian tajam menatap Jazuri. Jazuri tak mau kalah, dia pun melakukan hal yang serupa dengan si pria. Ia menatap balik mata si pria dengan tajam. Sembari melangitkan sebuah do’a di dalam hatinya, ya Allah, lembutkanlah hatinya ya Allah.

Sang pria berpenampilan mengerikan itu pun kalah, tak kuat bersitatap terlalu lama dengan Jazuri. Tatapannya sesegera mungkin ia alihkan ke arah teman-temannya yang sedang bersuka cita dengan dendangannya. Berdirilah ia, setegak pohon kelapa. Kedua tangannya sengaja ia angkat tinggi-tinggi. Telunjuk tangan kanan tegak menyangga telapak tangan kiri yang ia posisikan horizontal, “Boi, berhenti dulu! Ayo kita shalat!” teriaknya.

Dampaknya memang hebat. Dendangan lagu pun seketika berhenti. Kawan-kawan pria itu saling bersitatap satu sama lainnya, seolah memastikan bahwa mereka tak salah mendengar ucapan.
“Ayo! Kita shalat dulu.” Teriak sang pria sekali lagi.

“Siap Bos!” Ujar sebagian besar dari mereka.  Kini mereka yakin bahwa mereka tak salah mendengar ucapan. Jazuri tertegun menyaksikan realitas itu. Lebih tertegun lagi tatkala dia mulai tahu bahwa pria bergaya amburadul yang terpisah dari kawan-katannya itu ternyata adalah ketua komplotan.
Parodi menakjubkan pun terjadi kemudian. Segerombolan anak Punk bergaya menyeramkan bergerak serentak menuju ke Masjid. Jazuri kini menjadi bagian dari mereka. Penampilannya tampak paling berbeda dengan orang-orang yang ada dalam komplotan. Adzan pun terdengar dikumandangkan beberapa saat kemudian.

Orang-orang yang di dalam hatinya sudah bersarang citra buruk akan perilaku anak-anak Punk itu, serta merta menatap mereka dengan tatapan jijik dan penuh ketidaksudian. Hanya berpikiran jijik, hanya berperasaan benci. Otak mereka tumpul tatkala dihadapkan pada pertanyaan bagaimana cara merubah anak-anak yang butuh sentuhan perhatian itu. Tak mampu berpikir, apalagi mengeksekusi sebuah solusi. Hanya bisa menghujat, mencela, dan juga mencaci; sampah masyarakat!, pembuat onar!, gelandangan tak berguna!.

“Ayo, wudhu dulu.” Ujar Jazuri kepada mereka.
Jazuri menyaksikan pemandangan itu untuk pertama kalinya. Puluhan anak berpenampilan mengerikan berjejalan menyucikan diri di tempat wudhu. Rantai yang mereka pasang di celananya masing-masing pun terdengar bergemerincing karena beradu satu sama lain. Bunyinya berkompilasi dengan suara cucuran air yang keluar dari keran-keran di tempat bersuci itu. Sangat indah untuk didengar dan disaksikan.

Wudhu pun purna mereka laksanakan. Semuanya segera beranjak menuju ke dalam masjid. Ikut shalat berjamaah bersama dengan orang-orang yang kerap mereka buat resah.

Setelah shalat selesai, mereka segera ke luar dari dalam masjid. Orang-orang yang masih tersisa di dalam masjid, seketika langsung gemerutu satu sama lainnya. Mencela lagi, mencaci lagi, memvonis lagi. “Aduh! Tu anak-anak bau.. bla.. bla.. bla..”

Kawan, ini adalah sebuah permulaan dakwah yang nyata dari seorang Jazuri. Tidak banyak cingcong berbicara penuh busa terkait cara mujarab untuk mempengaruhi dan merubah orang. Dia langsung mengeksekusi pemahamannya ke dalam amal yang nyata.

“Makan yuk di rumah saya..” suatu saat Jazuri mengundang para gelandangan itu untuk makan di rumahnya. Tentu setelah ia bicarakan terlebih dahulu dengan istrinya. Jazuri dan istrinya menjamu anak-anak gelandangan yang kerap membuat masyarakat murka itu dengan jamuan yang paling istimewa.

Kawan, yakinlah makanan adalah cara mujarab yang bisa kau pergunakan untuk menyentuh hati manusia. Karena, setelah itu, di luar bayangan Jazuri, ia langsung diminta oleh para gelandangan itu untuk mengadakan pengajian rutin. Bayangkan! Anak Punk melaksanakan pengajian rutin. “Bang, kami pengen ngaji.”

Awalnya sebulan sekali, anak Punk memanggil Jazuri abang. Lalu ditambah intensitasnya menjadi dua pekan sekali, anak Punk memanggil Jazuri ustadz. Lalu ditambah lagi intensitasnya menjadi sepekan sekali, anak Punk memanggil Jazuri dengan sebutan Amirul Shaff (baca: pemimpin barisan). Jadilah forum pengajian pekanan itu layaknya sebuah kelompok halaqah yang dinamis. Pesan yang senantiasa diingatkan Jazuri pada binaan-binaanya itu hanya dua hal; jaga shalat dan jangan bermaksiat kepada Allah.

Hingga pada suatu hari Jazuri terharu merenungi sebuah sms yang masuk ke HP-nya. Sms itu dikirim mas’ul halaqah binaannya yang sebelumnya merupakan ketua gerombolan Punk pembuat resah masyarakat.
“Yaa amirul shaff, kami akan mengadakan khitanan massal gratis di Desa Antah Barantah, kedatangan Antum adalah sebuah kehormatan bagi kami. Datang ya..”

Terpekurlah Jazuri. Hatinya berbunga mendapati perubahan yang demikian cepat dari binaan-binaanya.
Khitanan massal gratis. Direncanakan dan dieksekusi oleh anak-anak Punk. Sebuah kegiatan yang aktivis-aktivis berpendidikan sekali pun terkadang kesulitan melaksanakannya. Yang jadi penyebabnya adalah karena aktivis-aktivis yang katanya berpendidikan itu hanya mempunyai kemampuan berkoar di tataran wacana. Urusan eksekusi? Mereka tak tahu entah ke mana.
Cerpen ini diinspirasi oleh kisah hidup Ust. Herry Rusli. Sebagaimana beliau sampaikan dalam sebuah acara mabit di Masjid Madliyyah Kampus UGM.

Sumber: www.dakwatuna.com

Kakek Penjual Amplop di Mesjid Salman ITB

Kisah Kakek Penjual Amplop di ITB. Kisah nyata ini ditulis oleh seorang dosen ITB bernama Rinaldi Munir mengenai seorang kakek yang tidak gentar berjuang untuk hidup dengan mencari nafkah dari hasil berjualan amplop di Masjid Salman ITB. Jaman sekarang amplop bukanlah sesuatu yang sangat dibutuhkan, tidak jarang kakek ini tidak laku jualannya dan pulang dengan tangan hampa. Mari kita simak kisah Kakek Penjual Amplop di ITB.

Kakek Penjual Amplop di ITB
Setiap menuju ke Masjid Salman ITB untuk shalat Jumat saya selalu melihat seorang Kakek tua yang duduk terpekur di depan dagangannya. Dia menjual kertas amplop yang sudah dibungkus di dalam plastik. Sepintas barang jualannya itu terasa “aneh” di antara pedagang lain yang memenuhi pasar kaget di seputaran Jalan Ganesha setiap hari Jumat. Pedagang di pasar kaget umumnya berjualan makanan, pakaian, DVD bajakan, barang mainan anak, sepatu dan barang-barang asesori lainnya. Tentu agak aneh dia “nyempil” sendiri menjual amplop, barang yang tidak terlalu dibutuhkan pada zaman yang serba elektronis seperti saat ini. Masa kejayaan pengiriman surat secara konvensional sudah berlalu, namun Kakek itu tetap menjual amplop. Mungkin Kakek itu tidak mengikuti perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi informasi yang serba cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat.

Kehadiran Kakek tua dengan dagangannya yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang mau membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yang lewat menuju masjid tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju masjid Salman seolah tidak mempedulikan kehadiran Kakek tua itu.

Kemarin ketika hendak shalat Jumat di Salman saya melihat Kakek tua itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah berjanji akan membeli amplopnya itu usai shalat, meskipun sebenarnya saya tidak terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar ingin membantu Kakek itu melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan hendak kembali ke kantor, saya menghampiri Kakek tadi. Saya tanya berapa harga amplopnya dalam satu bungkus plastik itu. “Seribu”, jawabnya dengan suara lirih. Oh Tuhan, harga sebungkus amplop yang isinnya sepuluh lembar itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup untuk membeli dua gorengan bala-bala pada pedagang gorengan di dekatnya. Uang seribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi Kakek tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya beli ya pak, sepuluh bungkus”, kata saya.

Kakek itu terlihat gembira karena saya membeli amplopnya dalam jumlah banyak. Dia memasukkan sepuluh bungkus amplop yang isinya sepuluh lembar per bungkusnya ke dalam bekas kotak amplop. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak.

Saya bertanya kembali kenapa dia menjual amplop semurah itu. Padahal kalau kita membeli amplop di warung tidak mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan uang seribu mungkin hanya dapat lima buah amplop. Kakek itu menunjukkan kepada saya lembar kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota pembelian 10 bungkus amplop surat senilai Rp7500. “Kakek cuma ambil sedikit”, lirihnya. Jadi, dia hanya mengambil keuntungan Rp250 untuk satu bungkus amplop yang isinya 10 lembar itu. Saya jadi terharu mendengar jawaban jujur si Kakek tua. Jika pedagang nakal ‘menipu’ harga dengan menaikkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, Kakek tua itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa. Andaipun terjual sepuluh bungkus amplop saja keuntungannya tidak sampai untuk membeli nasi bungkus di pinggir jalan. Siapalah orang yang mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh bungkus saja, apalagi untuk dua puluh bungkus amplop agar dapat membeli nasi.

Setelah selesai saya bayar Rp10.000 untuk sepuluh bungkus amplop, saya kembali menuju kantor. Tidak lupa saya selipkan sedikit uang lebih buat Kakek tua itu untuk membeli makan siang. Si Kakek tua menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil mengucapkan terima kasih dengan suara hampir menangis. Saya segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan untuk meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya teringat status seorang teman di fesbuk yang bunyinya begini: “Kakek-Kakek tua menjajakan barang dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini. Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan lengkap….”.

Si Kakek tua penjual amplop adalah salah satu dari mereka, yaitu para pedagang kaki lima yang barangnya tidak laku-laku. Cara paling mudah dan sederhana untuk membantu mereka adalah bukan memberi mereka uang, tetapi belilah jualan mereka atau pakailah jasa mereka. Meskipun barang-barang yang dijual oleh mereka sedikit lebih mahal daripada harga di mal dan toko, tetapi dengan membeli dagangan mereka insya Allah lebih banyak barokahnya, karena secara tidak langsung kita telah membantu kelangsungan usaha dan hidup mereka.

Dalam pandangan saya Kakek tua itu lebih terhormat daripada pengemis yang berkeliaran di masjid Salman, meminta-minta kepada orang yang lewat. Para pengemis itu mengerahkan anak-anak untuk memancing iba para pejalan kaki. Tetapi si Kakek tua tidak mau mengemis, ia tetap kukuh berjualan amplop yang keuntungannya tidak seberapa itu.

Di kantor saya amati lagi bungkusan amplop yang saya beli dari si Kakek tua tadi. Mungkin benar saya tidak terlalu membutuhkan amplop surat itu saat ini, tetapi uang sepuluh ribu yang saya keluarkan tadi sangat dibutuhkan si Kakek tua.

Kotak amplop yang berisi 10 bungkus amplop tadi saya simpan di sudut meja kerja. Siapa tahu nanti saya akan memerlukannya. Mungkin pada hari Jumat pekan-pekan selanjutnya saya akan melihat si Kakek tua berjualan kembali di sana, duduk melamun di depan dagangannya yang tak laku-laku.

Mari kita bersyukur telah diberikan kemampuan dan nikmat yang lebih daripada kakek ini. Tentu saja syukur ini akan jadi sekedar basa-basi bila tanpa tindakan nyata. Mari kita bersedekah lebih banyak kepada orang-orang yang diberikan kemampuan ekonomi lemah. Allah akan membalas setiap sedekah kita, amiin.

Bagaimana Kita Menjual

Ada sebuah perusahaan "pembuat sisir" yang ingin mengembangkan bisnisnya, sehingga management ingin merekrut seorang sales manager yang baru.

Perusahaan itu memasang IKLAN pada surat kabar. Tiap hari banyak orang yang datang mengikuti wawancara yang diadakan ... jika ditotal jumlahnya hampir seratus orang hanya dalam beberapa hari.

Kini, perusahaan itu menghadapi masalah untuk menemukan calon yang tepat di posisi tersebut. Sehingga si pewawancara membuat sebuah tugas yang sangat sulit untuk setiap orang yang akan mengikuti wawancara terakhir.

Tugasnya adalah : Menjual sisir pada para biksu di wihara. Hanya ada 3 calon yang bertahan untuk mencoba tantangan di wawancara terakhir ini. (Mr. A, Mr. B, Mr. C)

Pimpinan pewawancara memberi tugas :
"Sekarang saya ingin anda bertiga menjual sisir dari kayu ini kepada para biksu di wihara. Anda semua hanya diberi waktu 10 hari dan harus kembali untuk memberikan laporan setelah itu."

Setelah 10 hari, mereka memberikan laporan.

Pimpinan pewawancara bertanya pada Mr. A :

"Berapa banyak yang sudah anda jual?"

Mr. A menjawab: "Hanya SATU."

Si pewawancara bertanya lagi : "Bagaimana caranya anda menjual?"

Mr. A menjawab:

"Para biksu di wihara itu marah-marah saat saya menunjukkan sisir pada mereka. Tapi saat saya berjalan menuruni bukit, saya berjumpa dengan seorang biksu muda - dan dia membeli sisir itu untuk menggaruk kepalanya yang ketombean."

Pimpinan pewawancara bertanya pada Mr. B :

"Berapa banyak yang sudah anda jual?"

Mr. B menjawab : "SEPULUH buah."

"Saya pergi ke sebuah wihara dan memperhatikan banyak peziarah yang rambutnya acak-acakan karena angin kencang yang bertiup di luar wihara. Biksu di dalam wihara itu mendengar saran saya dan membeli 10 sisir untuk para peziarah agar mereka menunjukkan rasa hormat pada patung Sang Buddha."

Kemudian, Pimpinan pewawancara bertanya pada Mr. C :

"Bagaimana dengan anda?"

Mr. B menjawab: "SERIBU buah!"

Si pewawancara dan dua orang pelamar yang lain terheran-heran.

Si pewawancara bertanya : "Bagaimana anda bisa melakukan hal itu?"

Mr. C menjawab:

"Saya pergi ke sebuah wihara terkenal. Setelah melakukan pengamatan beberapa hari, saya menemukan bahwa banyak turis yang datang berkunjung ke sana. Kemudian saya berkata pada biksu pimpinan wihara, 'Sifu, saya melihat banyak peziarah yang datang ke sini. Jika sifu bisa memberi mereka sebuah
cindera mata, maka itu akan lebih menggembirakan hati mereka.' Saya bilang padanya bahwa saya punya banyak sisir dan memintanya untuk membubuhkan tanda tangan pada setiap sisir sebagai sebuah hadiah bagi para peziarah di wihara itu. Biksu pimpinan wihara itu sangat senang dan langsung memesan
1,000 buah sisir!"

MORAL DARI CERITA

Universitas Harvard telah melakukan riset, dengan hasil :

1) 85% kesuskesan itu adalah karena SIKAP dan 15% adalah karena kemampuan.

2) SIKAP itu lebih penting dari kepandaian, keahlian khusus dan keberuntungan.

Dengan kata lain, pengetahuan profesional hanya menyumbang 15% dari sebuah kesuksesan seseorang dan 85% adalah pemberdayaan diri, hubungan sosial dan adaptasi. Kesuksesan dan kegagalan bergantung pada bagaimana sikap kita menghadapi masalah.

Dalai Lama biasa berkata : "Jika anda hanya punya sebuah pelayaran yang lancar dalam hidup, maka anda akan lemah. Lingkungan yang keras membantu untuk membentuk pribadi anda, sehingga anda memiliki nyali untuk menyelesaikan semua masalah."

"Anda mungkin bertanya mengapa kita selalu berpegah teguh pada harapan. Ini karena harapan adalah : hal yang membuat kita bisa terus melangkah dengan mantap, berdiri teguh - dimana pengharapan hanyalah sebuah awal. Sedangkan segala sesuatu yang tidak diharapkan .... adalah hal yang akan mengubah hidup kita." Meredith Grey, Grey's Anatomy - Season 3

Ingatlah, saat keadaan ekonomi baik, banyak orang jatuh bangkrut. Tapi saat keadaan ekonomi buruk, banyak jutawan baru baru yang bermunculan. Jadi, dengan sepenuh hati terapkanlah SIKAP kerja yang benar 85%.

Teruslah bersemangat menjadi entrepreneur indonesia...!

(diambil dari tulisan PRAMONO 'PAKDE' DEWO)

Tersenyumlah

Bukan karena hidup bahagia lalu
"kamu tersenyum",
Tapi karena kamu tersenyum maka
"hidup jadi bahagia"...

:) Bukan karena semua orang bersahabat lalu
"kamu tersenyum",
Tapi karena kamu tersenyum maka
"semua orang jadi bersahabat"...

:) Bukan karena pekerjaan menyenangkan lalu
"kamu tersenyum",
Tapi karena kamu tersenyum maka
"pekerjaan jadi menyenangkan"...

:) Bukan karena keluarga harmonis lalu
"kamu tersenyum",
Tapi karena kamu tersenyum maka
"keluarga jadi harmonis"...

Bukan dunia yang membuat
"kamu tersenyum",
Tapi senyumanmulah yg membuat
"dunia jadi tersenyum"...

Jangan hitung tahun-tahun yang lewat, hitunglah saat-saat yang indah...

HIDUP TIDAK DIUKUR DENGAN BANYAKNYA NAPAS YANG KITA HIRUP melainkan DENGAN SAAT-SAAT DIMANA KITA MENARIK NAPAS BAHAGIA.

Soooo...keep Smiling, keep Shinning....:)

Barakallahu Fiikum...
Catatan Pramono 'Pakde' Dewo