RSS

Tentang Misi 40 Hari

Untuk yang satu ini sahabat-sahabatku bilang aku sudah agak keterlaluan, mungkin juga menerutmu. Tapi satu hal yang ingin kutegaskan disini adalah aku hanya ingin berterimakasih padamu. Rentang waktu Januari hingga Maret adalah salah satu saat-saat episode terberat di rentang hidupku.

Dan sekenario Allah pun berjalan sesuai kehendaknya, kau mungkin tak menyadari efek keberadaanmu memberikan dampak besar dihidupku. Yaa,, peristiwa-peristiwa yang menohok setiap jiwa memang berbeda, dan tak perlu kuceritakan padamu apa yang menimpaku.

Jangan pernah, merasa terbebani dengan apapun yang kuperbuat. Empat puluh hari ini hanya ungkapan terimakasih atas keberadaanmu yang ikut mengisi puzel di hidupku. Pada akhirnya aku hanya ingin menegaskan melalui tulisan ini, bahwa mungkin benar sikapku agak berlebihan. Tapi sekali lagi aku tegaskan aku hanya ingin berterima kasih dan percayalah aku pun tengah belajar untuk tulus.

Mengenai perasaanku yang begitu sering dipertanyakan kebanyakan orang dan juga mungkin dirimu, sungguh tak perlu kau khawatirkan. Biarlah itu menjadi urusanku sendiri. Kutegaskan kembali mengenai perasaanku, itu adalah urusanku. Siapapun tak berhak mengetahui perasaanku.

Dan bila, Allah mengijinkanku melakukan misi ini hingga khatam empat puluh hari, hanya sampai disitulah yang bisa aku perbuat untuk beterimakasih padamu, …….kawan!!



Disekitar Arsy terdapat menara-menara dari cahaya, didalamnya ada orang-orang yang pakaiannya dari cahaya dan wajah-wajah merekapun bercahaya. Mereka bukan para Nabi atau Syuhada. hingga nabi dan Syuhadapun iri kepada mereka.

ketika para sahabat bertanya , maka Rosulullah SAW menjawab:

"Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, saling bersahabat karena Allah, dan saling kunjung mengunjungi karena Allah".


Pernyataan-Pernyataan Memilukan Tentang Jilbab

1. “Jilbab itu kan dipake khusus buat shalat atau ke pengajian. Kalau di tempat umum ya mesti dibuka. Bego aja kebalik-balik”.
2. Tidak hanya sampai di situ, si A menyamakan jilbab dengan swimsuit. Pakaian itu penggunaannya bersifat situasional. Kalau mau pergi mengaji ya pakai jilbab. Kalau mau berenang ya pakai baju renang. “Masa renang pake mukena,” tukasnya lagi. “Segampang itu kok nggak paham,”
3. A juga mengatakan pendapat yang bisa mengundang kontroversi, yakni tentang alasan orang beragama. “Kenapa orang beragama? 1) karena miskin; 2) karena rentan dan merasa terancam,” ujarnya…


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/01/17997/pernyataan-pernyataan-memilukan-tentang-jilbab/#ixzz1sMQ0yWsw

dakwatuna.com - Tentang pernyataan pertama; kewajiban berjilbab Allah utarakan dalam Al-Quran secara umum, tidak terikat dengan momen tertentu; khusus untuk di pengajian misalkan. Yang ada malah sebaliknya, ketika shalat diwajibkan, jilbab (menutup aurat) menjadi salah satu pakaian khusus (ketentuan khusus) yang tidak bisa tidak, harus dipakai saat shalat. Jadi, siapa yang kebalik-balik?? Yang benar itu dari umum ke khusus, bukan dari khusus ke umum.
Jilbab dan pakaian renang adalah perbandingan yang tidak jauh berbeda dengan perbandingan antara basket dan main catur, meskipun kedua-duanya sama-sama olah raga, tapi rule of the gamenya berbeda, jika Allah syariatkan jilbab untuk dipakai di semua tempat, maka pabrik pembuat pakaian olah raga membuat pakaian renang khusus untuk di tempat renang. Adat manusia juga tidak membenarkan adanya seseorang yang ceramah di atas podium dengan memakai pakaian renang bukan? sebaliknya, tidak ada seorang pun yang protes jika seorang wanita berjilbab mengisi seminar di depan orang banyak, justru sebaliknya, akan banyak yang protes jika wanita tersebut memakai pakaian “ala kadarnya” ketika mengisi seminar.
Tentang pernyataan ketiga: justru kenyataan yang terjadi saat ini adalah, orang miskin tidak sedikit yang stress, gila. Kenapa gila? salah satu faktornya karena tidak beragama. Agama bukan pabrik yang di situ ada untung rugi materil; yang beragama kaya, yang tidak miskin! tidak selalu begitu. Yang beragama aman dari ancaman, yang tidak, selalu terancam, tidak selalu juga! Yang tepat adalah, kebanyakan orang menjadi begitu religius karena SADAR, sadar akan adanya pencipta, sadar akan adanya nikmat surga dan siksa neraka, sadar akan dirinya yang bukan siapa-siapa. Beda loh, sadar dengan terancam!!


Sumber:
http://www.dakwatuna.com/2012/01/17997/pernyataan-pernyataan-memilukan-tentang-jilbab/#इक्ष्ज़्ज़१संक़्फ़्ज्ञो

Yuuk intip Jilbab-jilbab Ok, punya syahida Colecction


Pas-01 @65,000
Order Sms via 082115428907


Nasehat dari seorang Guruku


Hari-hari dalam tahun ini memang bertambah, dengan kecepatan yang tinggi jika kita sibuk bekerja dalam harapan yang positif, tapi merambat lambat menuju masa tua yang lemah - jika kita malas dan banyak mengeluh.

Tapi sesungguhnya bukan jumlah tahun yang menjadikan kita tua, tapi JUMLAH HARI YANG KITA HIDUPI TANPA IMPIAN DAN HARAPAN.

Maka tetaplah setia kepada impianmu, peliharalah api harapanmu, dan bersegeralah melakukan sesuatu yang menjadikanmu dibutuhkan oleh sesamamu.

Jika yang kau lalukan tak menjadikanmu dibutuhkan, ia akan menjadikanmu diabaikan.

Bangkit sana gih!

Lakukanlah sesuatu yang menjadikanmu kekasih yang unyu-unyu, pasangan hidup yang membahagiakan, ayah yang gagah, ibu yang anggun, anak yang membanggakan, karyawan yang dipercaya, atasan yang disayangi, pebisnis yang amanah, sahabat yang dirindu, dan jiwa yang dipandangi oleh Tuhan dengan penuh kasih.

Karena Ukuran Kita Tak Sama


seperti sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki ukurannya
memaksakan tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti
memaksakan sepatu besar untuk tapal kecil merepotkan
kaki-kaki yang nyaman dalam sepatunya akan berbaris rapi-rapi

Seorang lelaki tinggi besar berlari-lari di tengah padang. Siang itu, mentari seakan didekatkan hingga sejengkal. Pasir membara, ranting-ranting menyala dalam tiupan angin yang keras dan panas. Dan lelaki itu masih berlari-lari. Lelaki itu menutupi wajah dari pasir yang beterbangan dengan surbannya, mengejar dan menggiring seekor anak unta.

Di padang gembalaan tak jauh darinya, berdiri sebuah dangau pribadi berjendela. Sang pemilik, ’Utsman ibn ‘Affan, sedang beristirahat sambil melantun Al Quran, dengan menyanding air sejuk dan buah-buahan. Ketika melihat lelaki nan berlari-lari itu dan mengenalnya,

“Masya Allah” ’Utsman berseru, ”Bukankah itu Amirul Mukminin?!”

Ya, lelaki tinggi besar itu adalah ‘Umar ibn Al Khaththab.

”Ya Amirul Mukminin!” teriak ‘Utsman sekuat tenaga dari pintu dangaunya,

“Apa yang kau lakukan tengah angin ganas ini? Masuklah kemari!”

Dinding dangau di samping Utsman berderak keras diterpa angin yang deras.

”Seekor unta zakat terpisah dari kawanannya. Aku takut Allah akan menanyakannya padaku. Aku akan menangkapnya. Masuklah hai ‘Utsman!” ’Umar berteriak dari kejauhan. Suaranya bersiponggang menggema memenuhi lembah dan bukit di sekalian padang.

“Masuklah kemari!” seru ‘Utsman,“Akan kusuruh pembantuku menangkapnya untukmu!”.

”Tidak!”, balas ‘Umar, “Masuklah ‘Utsman! Masuklah!”

“Demi Allah, hai Amirul Mukminin, kemarilah, Insya Allah unta itu akan kita dapatkan kembali.“

“Tidak, ini tanggung jawabku. Masuklah engkau hai ‘Utsman, anginnya makin keras, badai pasirnya mengganas!”

Angin makin kencang membawa butiran pasir membara. ‘Utsman pun masuk dan menutup pintu dangaunya. Dia bersandar dibaliknya & bergumam,

”Demi Allah, benarlah Dia & RasulNya. Engkau memang bagai Musa. Seorang yang kuat lagi terpercaya.”

‘Umar memang bukan ‘Utsman. Pun juga sebaliknya. Mereka berbeda, dan masing-masing menjadi unik dengan watak khas yang dimiliki.

‘Umar, jagoan yang biasa bergulat di Ukazh, tumbuh di tengah bani Makhzum nan keras & bani Adi nan jantan, kini memimpin kaum mukminin. Sifat-sifat itu –keras, jantan, tegas, tanggungjawab & ringan tangan turun gelanggang – dibawa ‘Umar, menjadi ciri khas kepemimpinannya.

‘Utsman, lelaki pemalu, anak tersayang kabilahnya, datang dari keluarga bani ‘Umayyah yang kaya raya dan terbiasa hidup nyaman sentausa. ’Umar tahu itu. Maka tak dimintanya ‘Utsman ikut turun ke sengatan mentari bersamanya mengejar unta zakat yang melarikan diri. Tidak. Itu bukan kebiasaan ‘Utsman. Rasa malulah yang menjadi akhlaq cantiknya. Kehalusan budi perhiasannya. Kedermawanan yang jadi jiwanya. Andai ‘Utsman jadi menyuruh sahayanya mengejar unta zakat itu; sang budak pasti dibebaskan karena Allah & dibekalinya bertimbun dinar.

Itulah ‘Umar. Dan inilah ‘Utsman. Mereka berbeda.

Bagaimanapun, Anas ibn Malik bersaksi bahwa ‘Utsman berusaha keras meneladani sebagian perilaku mulia ‘Umar sejauh jangkauan dirinya. Hidup sederhana ketika menjabat sebagai Khalifah misalnya.

“Suatu hari aku melihat ‘Utsman berkhutbah di mimbar Nabi ShallaLlaahu ‘Alaihi wa Sallam di Masjid Nabawi,” kata Anas . “Aku menghitung tambalan di surban dan jubah ‘Utsman”, lanjut Anas, “Dan kutemukan tak kurang dari tiga puluh dua jahitan.”

Dalam Dekapan ukhuwah, kita punya ukuran-ukuran yang tak serupa. Kita memiliki latar belakang yang berlainan. Maka tindak utama yang harus kita punya adalah; jangan mengukur orang dengan baju kita sendiri, atau baju milik tokoh lain lagi.

Dalam dekapan ukhuwah setiap manusia tetaplah dirinya. Tak ada yang berhak memaksa sesamanya untuk menjadi sesiapa yang ada dalam angannya.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat tulus pada saudara yang sedang diberi amanah memimpin umat. Tetapi jangan membebani dengan cara membandingkan dia terus-menerus kepada ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat pada saudara yang tengah diamanahi kekayaan. Tetapi jangan membebaninya dengan cara menyebut-nyebut selalu kisah berinfaqnya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat saudara yang dianugerahi ilmu. Tapi jangan membuatnya merasa berat dengan menuntutnya agar menjadi Zaid ibn Tsabit yang menguasai bahawa Ibrani dalam empat belas hari.

Sungguh tidak bijak menuntut seseorang untuk menjadi orang lain di zaman yang sama, apalagi menggugatnya agar tepat seperti tokoh lain pada masa yang berbeda. ‘Ali ibn Abi Thalib yang pernah diperlakukan begitu, punya jawaban yang telak dan lucu.

“Dulu di zaman khalifah Abu Bakar dan ‘Umar” kata lelaki kepada ‘Ali, “Keadaannya begitu tentram, damai dan penuh berkah. Mengapa di masa kekhalifahanmu, hai Amirul Mukminin, keadaanya begini kacau dan rusak?”

“Sebab,” kata ‘Ali sambil tersenyum, “Pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar, rakyatnya seperti aku.
Adapun di zamanku ini, rakyatnya seperti kamu!”

Dalam dekapan ukhuwah, segala kecemerlangan generasi Salaf memang ada untuk kita teladani. Tetapi caranya bukan menuntut orang lain berperilaku seperti halnya Abu Bakar, ‘Umar, “Utsman atau ‘Ali.

Sebagaimana Nabi tidak meminta Sa’d ibn Abi Waqqash melakukan peran Abu Bakar, fahamilah dalam-dalam tiap pribadi. Selebihnya jadikanlah diri kita sebagai orang paling berhak meneladani mereka. Tuntutlah diri untuk berperilaku sebagaimana para salafush shalih dan sesudah itu tak perlu sakit hati jika kawan-kawan lain tak mengikuti.

Sebab teladan yang masih menuntut sesama untuk juga menjadi teladan, akan kehilangan makna keteladanan itu sendiri. Maka jadilah kita teladan yang sunyi dalam dekapan ukhuwah.

Ialah teladan yang memahami bahwa masing-masing hati memiliki kecenderungannya, masing-masing badan memiliki pakaiannya dan masing-masing kaki mempunyai sepatunya. Teladan yang tak bersyarat dan sunyi akan membawa damai. Dalam damai pula keteladannya akan menjadi ikutan sepanjang masa.

Selanjutnya, kita harus belajar untuk menerima bahwa sudut pandang orang lain adalah juga sudut pandang yang absah. Sebagai sesama mukmin, perbedaan dalam hal-hal bukan asasi
tak lagi terpisah sebagai “haq” dan “bathil”. Istilah yang tepat adalah “shawab” dan “khatha”.

Tempaan pengalaman yang tak serupa akan membuatnya lebih berlainan lagi antara satu dengan yang lain.

Seyakin-yakinnya kita dengan apa yang kita pahami, itu tidak seharusnya membuat kita terbutakan dari kebenaran yang lebih bercahaya.

Imam Asy Syafi’i pernah menyatakan hal ini dengan indah. “Pendapatku ini benar,” ujar beliau,”Tetapi mungkin mengandung kesalahan. Adapun pendapat orang lain itu salah, namun bisa jadi mengandung kebenaran.”

sepenuh cinta,

Salim A. Fillah

Karna-Aku-Mencintaimu


Aku mencintaimu dalam diam

Hanya kepada angin aku berani berbisik

Karena dalam hembusnya tertiup doa


Aku mencintaimu dengan buta

Mengurai makna dalam setiap logika

Yang dalamnya hanya bisa dirasa


Aku mencintaimu lebih indah dari pelangi

Dalam rinai airmata tetap berwarna

Meski terbias dalam telaga duka


Aku mencintaimu..

Hanya mencintaimu..

Tak perduli langit akan runtuh hari ini

Atau bumi akan terbelah esok hari..

Karna aku mencintaimu..

Hanya mencintaimu..


Aulia


http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/12/03/21/m17z29-karna-aku-mencintaimu-puisi