Menara tua itu masih tetap setia menjadi teman bagi mereka. Setia
merelakan pelatarannya dijejali sejumlah manusia yang hampir semuanya
berpenampilan tak biasa. Itulah mereka; sampah masyarakat, orang-orang
tak berguna, dan gelandangan pembuat resah masyarakat. Paling tidak,
tiga hal ini sudah cukup menjadi citra dominan mereka di dalam benak
kebanyakan orang.
Sebelas lebih 30 menit, tepat. Inilah waktu yang
ditunjukkan oleh jam dinding yang terpasang di menara tempat
sampah-sampah masyarakat itu berkumpul dan bercengkerama. Asap rokok
membumbung menuju ke langit, seolah punya niat hendak menundukkan
keperkasaan sang raja siang. Lagu yang syairnya berisi hujatan terhadap
pemerintah pun terdengar membahana, keluar secara serempak dari
mulut-mulut mereka. Dibersamai iringan dua buah gitar yang dimainkan dua
orang dari mereka, dan satu buah alat tabuh yang dimainkan salah satu
dari mereka.
Di sebuah sudut, Jazuri menyaksikan seorang pria yang
juga berpenampilan serupa dengan sampah-sampah masyarakat itu. Duduk
terpekur sendirian. Terpisah dari hingar-bingar teman-temannya yang
lain. Sebatang rokok terapit di sudut bibirnya yang hitam dicat lipstik.
Asap pun mengelun dari bibir dan lubang hidung pria itu.
Jazuri
mendekati pria yang terpisah dari komplotannya itu. Ia mendapati mata
sang pria sedang tertuju ke arah sebuah bangunan artistik yang tepat
berada di seberang pria itu. Bangunan itu adalah Masjid, tempat yang
hendak dituju Jazuri untuk melaksanakan shalat Zhuhur.
Tatkala
pria itu tahu ada seorang Jazuri yang hendak mendekat ke arahnya,
matanya seketika beralih tajam menatap Jazuri. Gayanya yang menyeramkan
pun semakin kentara dengan jelas. Sederet anting nampak terpasang pada
kedua telinganya. Tak mau ketinggalan, bibirnya juga ia pasangi anting.
Hidungnya pun demikian, dipasangi anting juga. Bibir matanya dicat
berwarna hitam. Rambutnya berdiri kaku layaknya rambut seekor landak.
Sebagian sengaja dipangkas habis, sebagian lagi sengaja dibiarkan
tumbuh. Nampak begitu kumal dan tak terawat. Celananya ketat dan juga
penuh tambalan. Bajunya kumal tak pernah dibersihkan. Kok bisa ada orang macam ini ya? Batin Jazuri pun berbisik demikian.
“Shalat yuk..” Ajak Jazuri setibanya ia di tempat pria yang sedang duduk terpekur itu. Berusaha berucap sesantun mungkin.
Tak
didapatinya sebuah jawaban dari mulut sang pria. Mata sang pria malah
kian tajam menatap Jazuri. Jazuri tak mau kalah, dia pun melakukan hal
yang serupa dengan si pria. Ia menatap balik mata si pria dengan tajam.
Sembari melangitkan sebuah do’a di dalam hatinya, ya Allah, lembutkanlah hatinya ya Allah.
Sang
pria berpenampilan mengerikan itu pun kalah, tak kuat bersitatap
terlalu lama dengan Jazuri. Tatapannya sesegera mungkin ia alihkan ke
arah teman-temannya yang sedang bersuka cita dengan dendangannya.
Berdirilah ia, setegak pohon kelapa. Kedua tangannya sengaja ia angkat
tinggi-tinggi. Telunjuk tangan kanan tegak menyangga telapak tangan kiri
yang ia posisikan horizontal, “Boi, berhenti dulu! Ayo kita shalat!”
teriaknya.
Dampaknya memang hebat. Dendangan lagu pun seketika
berhenti. Kawan-kawan pria itu saling bersitatap satu sama lainnya,
seolah memastikan bahwa mereka tak salah mendengar ucapan.
“Ayo! Kita shalat dulu.” Teriak sang pria sekali lagi.
“Siap
Bos!” Ujar sebagian besar dari mereka. Kini mereka yakin bahwa mereka
tak salah mendengar ucapan. Jazuri tertegun menyaksikan realitas itu.
Lebih tertegun lagi tatkala dia mulai tahu bahwa pria bergaya amburadul
yang terpisah dari kawan-katannya itu ternyata adalah ketua komplotan.
Parodi
menakjubkan pun terjadi kemudian. Segerombolan anak Punk bergaya
menyeramkan bergerak serentak menuju ke Masjid. Jazuri kini menjadi
bagian dari mereka. Penampilannya tampak paling berbeda dengan
orang-orang yang ada dalam komplotan. Adzan pun terdengar dikumandangkan
beberapa saat kemudian.
Orang-orang yang di dalam hatinya sudah
bersarang citra buruk akan perilaku anak-anak Punk itu, serta merta
menatap mereka dengan tatapan jijik dan penuh ketidaksudian. Hanya
berpikiran jijik, hanya berperasaan benci. Otak mereka tumpul tatkala
dihadapkan pada pertanyaan bagaimana cara merubah anak-anak yang butuh
sentuhan perhatian itu. Tak mampu berpikir, apalagi mengeksekusi sebuah
solusi. Hanya bisa menghujat, mencela, dan juga mencaci; sampah
masyarakat!, pembuat onar!, gelandangan tak berguna!.
“Ayo, wudhu dulu.” Ujar Jazuri kepada mereka.
Jazuri
menyaksikan pemandangan itu untuk pertama kalinya. Puluhan anak
berpenampilan mengerikan berjejalan menyucikan diri di tempat wudhu.
Rantai yang mereka pasang di celananya masing-masing pun terdengar
bergemerincing karena beradu satu sama lain. Bunyinya berkompilasi
dengan suara cucuran air yang keluar dari keran-keran di tempat bersuci
itu. Sangat indah untuk didengar dan disaksikan.
Wudhu pun purna
mereka laksanakan. Semuanya segera beranjak menuju ke dalam masjid. Ikut
shalat berjamaah bersama dengan orang-orang yang kerap mereka buat
resah.
Setelah shalat selesai, mereka segera ke luar dari dalam
masjid. Orang-orang yang masih tersisa di dalam masjid, seketika
langsung gemerutu satu sama lainnya. Mencela lagi, mencaci lagi,
memvonis lagi. “Aduh! Tu anak-anak bau.. bla.. bla.. bla..”
Kawan,
ini adalah sebuah permulaan dakwah yang nyata dari seorang Jazuri.
Tidak banyak cingcong berbicara penuh busa terkait cara mujarab untuk
mempengaruhi dan merubah orang. Dia langsung mengeksekusi pemahamannya
ke dalam amal yang nyata.
“Makan yuk di rumah saya..” suatu saat
Jazuri mengundang para gelandangan itu untuk makan di rumahnya. Tentu
setelah ia bicarakan terlebih dahulu dengan istrinya. Jazuri dan
istrinya menjamu anak-anak gelandangan yang kerap membuat masyarakat
murka itu dengan jamuan yang paling istimewa.
Kawan, yakinlah
makanan adalah cara mujarab yang bisa kau pergunakan untuk menyentuh
hati manusia. Karena, setelah itu, di luar bayangan Jazuri, ia langsung
diminta oleh para gelandangan itu untuk mengadakan pengajian rutin.
Bayangkan! Anak Punk melaksanakan pengajian rutin. “Bang, kami pengen
ngaji.”
Awalnya sebulan sekali, anak Punk memanggil Jazuri abang.
Lalu ditambah intensitasnya menjadi dua pekan sekali, anak Punk
memanggil Jazuri ustadz. Lalu ditambah lagi intensitasnya menjadi
sepekan sekali, anak Punk memanggil Jazuri dengan sebutan Amirul Shaff (baca: pemimpin barisan). Jadilah forum pengajian pekanan itu layaknya sebuah kelompok halaqah
yang dinamis. Pesan yang senantiasa diingatkan Jazuri pada
binaan-binaanya itu hanya dua hal; jaga shalat dan jangan bermaksiat
kepada Allah.
Hingga pada suatu hari Jazuri terharu merenungi sebuah sms yang masuk ke HP-nya. Sms itu dikirim mas’ul halaqah binaannya yang sebelumnya merupakan ketua gerombolan Punk pembuat resah masyarakat.
“Yaa
amirul shaff, kami akan mengadakan khitanan massal gratis di Desa Antah
Barantah, kedatangan Antum adalah sebuah kehormatan bagi kami. Datang
ya..”
Terpekurlah Jazuri. Hatinya berbunga mendapati perubahan yang demikian cepat dari binaan-binaanya.
Khitanan
massal gratis. Direncanakan dan dieksekusi oleh anak-anak Punk. Sebuah
kegiatan yang aktivis-aktivis berpendidikan sekali pun terkadang
kesulitan melaksanakannya. Yang jadi penyebabnya adalah karena
aktivis-aktivis yang katanya berpendidikan itu hanya mempunyai kemampuan
berkoar di tataran wacana. Urusan eksekusi? Mereka tak tahu entah ke
mana.
—
Cerpen
ini diinspirasi oleh kisah hidup Ust. Herry Rusli. Sebagaimana beliau
sampaikan dalam sebuah acara mabit di Masjid Madliyyah Kampus UGM.
1 komentar:
salam kenal dan tetap semangat ya...:)
Posting Komentar