RSS

Buat apa Sekolah.....???



 
 *Repost By Tere Liye
Siapa yang pernah menonton 3 idiots? Banyak. Siapa yang suka film itu? Banyak yg suka. Tetapi siapa yg sebenarnya mengambil pelajaran paling cemerlang dari film itu? Entahlah, siapa yg mengambil manfaatnya.

Ada ibu-ibu dengan anak gadis yang siap menikah. Menonton 3 idiots, ibu-ibu ini sampai menangis. Tapi saat anaknya bilang mau menikah, dan hanya akan jadi ibu rumah tangga saja, ibu-ibu langsung bergegas bilang, "nggak boleh. enak saja sy sekolahkan tinggi2, hanya untuk jadi ibu rumah tangga!" Lihatlah, jawaban itu menunjukkan sama sekali tidak berbekas pemahaman yang datang dari film barusan ditontonnya.

Kita ini sekolah tinggi2 buat apa sih? Buat nyari pekerjaan keren? Buat jadi pegawai? PNS? Buat nyari rezeki? Keliru kalau jawabannya iya. Saya membuka kitab-kitab, membaca buku-buku tua, menelusuri kesemua hal, tidak ada satupun nasehat yang bilang: sekolahlah tinggi2, agar besok bisa jadi pejabat, kaya raya, dan berbagai ukuran duniawi lainnya, dsbgnya, dsbgnya. Apalagi kalau membuka kitab yg tidak penah keliru: Al Qur'an, juga merujuk nasehat yg tidak akan salah: riwayat Rasul, seruan untuk belajar, tidak ada rumusnya dengan ukuran duniawi.

Kita disuruh belajar, mencari ilmu (dalam dunia yg sangat modern ini ukurannya adalah SD, SMP, SMA, S1, S2, S3, S4, S5 dstnya), murni agar kita banyak tahu, asli agar kita paham banyak hal, dan ilmu itu b-e-r-m-a-n-f-a-a-t bagi kehidupan kita sehari2. Seorang istri yang S3, tidak ada masalah sama sekali tetap menjadi ibu rumah tangga, dan ilmunya bisa bermanfaat utk keluarganya. Ilmunya bisa bermanfaat buat tetangga, sekitar, aktivitas apa saja yg bisa dia lakukan, terlepas mau bekerja di perusahaan/pemerintah atau hanya bekerja di rumah.

Itu benar, saya tidak akan membantahnya, memang ada korelasi kuat antara berpendidikan dengan masa depan cerah, tapi definisi 'masa depan cerah' itu bukan s-e-m-a-t-a-2 ukuran duniawi yang membuat proses belajar selama ini jadi kosong. Bukan hanya itu.

Maka, kembali ke film 3 idiots tadi, bukankah Rancho hanya belajar dan belajar. Dia senang belajar, dia senang mencari ilmu. Titik. Sisanya, serahkan pada nasib. Dia tidak peduli gelar, dia tidak peduli mau bekerja jadi apa, dia tidak peduli. Bahkan saat dia harus menyingkir dari 'kehidupan', pergi menjauh dari gemerlap banyak hal, justeru kehidupan dan gemerlapnya dunia yang datang kepadanya. Sementara Silencer, teman kuliahnya dulu yg selalu sibuk berhitung atas duniawinya, merasa sudah memenangkan segalanya, ternyata kosong saja, dia hanyalah orang yg amat tergantung nasibnya dgn orang lain. Takut dipecat kerja, tergantung nafkahnya dari orang lain, dan diperbudak oleh materi. Sejatinya Silencer hanya orang 'suruhan', terutama suruhan ambisi dan nafsu duniawi--meskipun direktur sekalipun posisinya.

Aduh, bukankah rumus ini banyak terjadi di sekitar kita? Ada banyak teladan yg memilih sibuk belajar, belajar, bekerja, bekerja, terus menjadi yg terbaik, mau jadi apapun dia, bahkan sekadar ibu rumah tangga, hidupnya t-e-r-n-y-a-t-a tetap spesial, bermanfaat bagi banyak orang. Sebaliknya, buanyaaak sekali, yg sibuk menghitung nilai raport, menghitung sekolah sy elit, keren, saya sudah S2, S3, situ apa sih? sy sekolah di kampus ngetop, situ dimana sih? Ternyata tidak pernah lepas dari kungkungan hidupnya, meskipun boleh jadi secara kasat mata sukses menurut ukuran dunia saat ini.
Demikianlah.

Tak Ada Salahnya Melepaskan Mimpi



sewaktu kita kecil, kita dibiasakan untuk memiliki mimpi. sewaktu masih TK, kita sering ditanya, "Kalau udah besar mau jadi apa nak?" dan kita akan menjawab mau menjadi dokter/insinyur/pilot/Polisi dan lain sebagainya. Nah, dari situlah pertama kali mimpi kita bermula. Selanjutnya, semakin kita bertambah usia,  semakin kita tahu banyak hal, mimpi kita menjadi semakin tinggi, lebih realistis dan pastinya lebih kompleks.

Namun kadang kita sampai di suatu titik tidak terhindarkan di mana kita dihadapkan pada kenyataan bahwa kita harus mengevaluasi dan mengambil keputusan yang akan berdampak pada seluruh sisa hidup kita ke depan. Misalnya menentukan jurusan kuliah, memutuskan untuk menandatangani kontrak dengan sebuah perusahaan, memulai atau mengakhiri sebuah hubungan, atau apa pun yang membuat kita harus berpikir lebih dalam karena dampaknya akan sangat besar.

Begitu pun saat mengevaluasi ulang mimpi yang ingin kita capai dalam hidup. Kita telah terbiasa dengan pemikiran bahwa dalam upaya menggapai mimpi. Apa pun yang terjadi, jangan pernah menyerah mengejar mimpi. Jarang sekali ada yang berkata pada kita bahwa ada mimpi yang nggak bisa dicapai. Semua orang menanamkan prinsip jika kita bekerja keras, kita bisa mencapai apa pun yang diinginkan. Itu belum ditambah dengan kisah motivasi dari orang sukses yang membanjiri hidup kita setiap hari.

Tapi apa iya harus seperti itu? Mungkin kalimat motivasi tersebut tepat diberikan pada saat kita masih muda. Masih idealis, punya banyak energi untuk menggapai mimpi dan cita-cita. Namun semakin bertambah usia, semakin banyak realitas yang kita hadapi, kita menjadi semakin sadar: ada hal-hal yang memang tidak mungkin dikejar terus-menerus.

Orang mungkin menemukan passion berdasarkan bakat dan kemampuan pada usia yang masih muda. Karena kita menyukai satu hal, sejak saat itu kita pun berusaha keras untuk mewujudkannya. Hal ini bisa dilakukan selama bertahun-tahun—bisa berhasil dengan sukses, namun nggak sedikit yang hanya sampai tahap ‘masih mencoba’.

Mungkin, bukanlah sebuah hal yang pesimistis dan merendahkan apabila kita mengevaluasi jalan yang kita ambil dan lalu berubah pikiran akan hal tersebut. Karena ada perbedaan jauh antara mencintai suatu hal (passion kita) dan menjadikannya cukup/layak untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Mungkin saja orang-orang terdekat kita nggak mengingatkan karena mereka masih percaya bahwa suatu hari nanti mimpi kita akan tercapai—atau mungkin mereka sudah berkali-kali mengingatkan namun kita yang memang nggak mau mendengar, nggak mau berpikir lebih dalam, dan nggak mau move on dari mimpi tersebut? Karena kadang ada mimpi yang terlalu sulit untuk diwujudkan di dalam kenyataan.

Point saya bukan meminta Anda melepaskan mimpi yang Anda miliki. Tapi, nggak ada salahnya mengevaluasi ulang mimpi Anda—apakah perjalanan kita masih jauh? Apakah kita berada di jalan yang benar?

Perubahan itu, menurut saya, bukanlah sebuah kegagalan. Ibarat kredit macet, kita sedang melakukan restrukturisasi. Hanya saja ini bukan kredit, tapi hidup kita. Membuka babak baru dalam hidup mungkin nggak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi bukan nggak mungkin di dalam babak baru tersebut kita menemukan hal lain yang dapat membawa rasa bahagia yang mirip dengan yang kita rasakan sebelumnya.

Saya setuju bahwa yang namanya mimpi dan passion memang harus dikejar sampai suatu titik tertentu. Namun juga harus disadari kalau mengejar mimpi justru menjadi beban yang sangat besar, mungkin saatnya kita berpikir ulang. Karena nggak ada yang salah dengan berpikir lebih praktis.




*sumber: saya lupa sumbernya dari mana aja hehehe