Saya memilih memasang photo ini saja
Foto ini diambil sekitar awal tahun
lalu, tapi baru gw ingat posting sekarang. Sebelah gw itu mantan Ketua Osis
yang cukup cerdas di jaman sekolah dulu. Mukanya gw mozaik, bukan karena pelaku
asusila, atau bintang film JAV. Ya cuma gak enak aja ama orangnya.
Gw cukup shock mendapatinya
menggelar lapak meja kecil dan jualan minyak wangi eceran di depan pasar.
"Keras kehidupan, teman!" ujarnya bernada pembelaan, padahal gak ada
yang salah dengan apa yang ia lakukan. Di jaman nabi malah berdagang seperti
ini adalah sebaik-baik pekerjaan. Kesalahannya mungkin hanya karena berada di
tempat yang kurang tepat jika mengingat potensi yang ia miliki untuk
mendapatkan karir yang lebih bergengsi. Atau kesalahan boleh jadi ada pada
budaya kita dalam dikotomi pekerjaan. Atau kesalahan bisa juga ada pada sudut
pandang gw, wallahualam.
Gw gak bilang kerjaan gw sekarang
bergengsi, tapi setidaknya bekerja kantoran dan makan gaji bulanan masih lebih
dianggap sebagai sebuah pekerjaan beneran oleh sementara orang hingga kini
(cih, sombong). Hehe..
Tapi ini serius. Survey membuktikan
status karyawan kantoran masih jadi standar kelayakan untuk di-ACC-nya
"proposal" oleh mayoritas calon mertua (kecuali calmer yang ngerti
penghasilan freelancer pemain SEO, tentunya).
Sebelum bertemu teman ini, kebetulan
gw juga bertemu teman yang lain, mantan juara kelas di SMA yang sudah
bertahun-tahun menjadi tukang ojek. Agak miris sebenarnya. Apa yang didapatkan
pada sekolah formal ternyata gak sepenuhnya menjamin masa depan. Dan gw yakin
ini bukan cuma gw yang mengalami. Coba cari teman-teman lo yang dulu
berprestasi, di mana sekarang mereka? pastinya gak semua yang mengecap
kesuksesan. Bekerja keraspun belum tentu jadi orang. Disiplin ilmu juga gak
selamanya menentukan.
Teman-teman gw kuliah di arsitek
dulu nyebar secara absurd, ada yang jadi PNS, ada yang di KPU, ada surveyor
perkreditan, ada yang kerja di bengkel, salon, dan gw sendiri malah jadi kartunis
plus layouter merangkap pemburu side job serabutan. Hiks..
Tapi gw pikir ini sah-sah aja,
selama gw masih bisa memilah (bukan memilih), mana pekerjaan yang kiranya masih
cocok buat gw lakukan. Kere-kere gini, gw pernah nolak pekerjaan menulis
skenario sinetron stripping dengan iming-iming bayaran yang gak sedikit, hanya
karena gw pikir dampak mudharat jangka panjang yang ditimbulkan. Ini salah satu
keputusan tepat yang gw banggakan dalam hidup, selain keputusan menikah, dan
keputusan meng-unfollow Farhat Abbas dari twitter.
Padahal, sekelas selebriti papan
atas saja masih banyak yang terkesan serampangan dalam menerima job. Betapa
gelinya gw ngelihat aktor watak sekelas Deddy Mizwar yang joget-joget
mengenaskan di iklan sosis, atau Afgan yang menurunkan kelasnya dengan
bernyanyi jingle iklan "bukan cincau biasa". Tapi sudahlah, toh
mereka juga pasti punya alasan melakukannya. Mumpung ada peluang; peluh yang
menghasilkan uang.
Eh iya, kemaren gw sempat sebel baca
salah satu komen di postingan gw. "Lu tambah kaya dong sekarang?" Ya
Alloh, apakah tujuan hidup ini hanya buat kaya doang? Kalo ukuran kekayaan
adalah duit semata, sorry.. gw masih jauh panggang dari sate madura. Tapi kalo
parameternya selain itu, alhamdulillah gw udah lumayan kaya lah. Punya istri sholehah
yang pinter masak dan gak doyan ngutang, punya anak lucu, punya rumah sendiri
plus ranjang hello kitty, kurang apa lagi coba?
Orang kadang gak nyadar kalo materi
berlebihan itu juga sebenarnya cobaan. Andai gw dikasih kekayaan harta
berlimpah, siapa yg menjamin besok-besok misalnya gw gak bagi-bagi mobil ama
artis atau nikah siri ama penyanyi dangdut? ini cuma misalnya loh yah.. jangan
diambil hati ya, sayang.. (ngomong sama bini yang lagi diem-diem menyimak).
Banyak sebenarnya orang yang punya
potensi tapi justru gak pandai memanfaatkan peluang, hanya memasrahkan masa
depannya pada garis tangan (kecuali caleg yang memasrahkan masa depannya pada
garis bibir, yaitu seberapa lebar tarikan sudut garis bibir pada sunggingan
senyum baliho). Padahal Rasulullah saja pernah menegur orang di dalam mesjid
yang hanya terus-terusan pasrah dan larut dalam doa tanpa ada upaya untuk
berikhtiar ngasih makan anak bininya.
Gw pernah dikasih kata-kata bijak
oleh seorang ahli ibadah, katanya tikus aja udah disiapkan rejeki oleh Sang
pencipta, gak bakalan kekurangan makanan, jadi gak usah takut. Langsung gw
balas, iya itu bener, tapi kalo tikus kelamaan diem bisa juga dicaplok kucing.
Walhasil yang ngasih nasehat justru mingkem.
Pasrah dalam bekerja apalagi jika
bekerja gak sesuai disiplin ilmu sebenarnya gak masalah, yang penting gak
menyimpang secara moral dan agama, punya kemampuan di bidangnya, nyaman
melakukannya, dan gak berhenti mencari passion, tentunya.
Imam Abu Hanifah atau Imam Hanafi,
salah satu imam mazhab, justru menemukan passion-nya menjadi imam besar di saat
usianya sudah menginjak 40 tahun. Sebelum itu ia hanyalah penuntut ilmu biasa.
Bahkan ada yang menemukan passionnya
menjadi vokalis justru setelah dua periode duduk di kursi presiden, ada juga
yang sebenarnya passionnya adalah fotografer tapi malah nyasar jadi ibu negara.
Di daerah gw ada bupati yang passionnya jadi broker tambang, di televisi malah
ada tukang sulap yang merasa cocok jadi ustad.
Jadi intinya sebenarnya pengendalian
diri. *hloh?* Maksud gw, diri dan masa depan kita ya hanya kita yang bisa
mengendalikan. Membiarkan hidup mengalir tanpa perencanaan-perencanaan itu juga
gak bagus buat dipertahankan. Gw sendiri yakin gak akan selamanya dengan
pekerjaan yang sekarang. Gw masih nyari-nyari apa passion gw sebenarnya. Saking
seriusnya mencari passion, gw sampe bela-belain ikut passion show di atas
catwalk. Eeh sorry, itu fashion yak?
Pernah beberapa kali gw mikir untuk
resign hanya karena jenuh, stagnan, dan merasa kurangnya penghargaan, tapi
akhirnya gw gak menemukan kesempatan dan alasan yang lebih tepat untuk
membenarkan. Gw kembali mikir bahwa ini hanyalah mood yang berfluktuasi. Toh
kalo bisa nyari sampingan sambil tetap bertahan jadi karyawan, kenapa nggak?
Niatkan aja pekerjaan yang gak sesuai disiplin ilmu tersebut sebagai batu
loncatan menuju passion-passion yang kita yakini suatu saat akan kita temukan.
Lagian Robert Kiyosaki bukan nabi yang mesti didenger nasehatnya "jangan
lama-lama jadi karyawan".
Yang penting sekarang mulai
kencangkan ikat pinggang, hentikan ongkang-ongkang. Gak ada kata terlambat
untuk merevisi masa depan. Film aja pake story board, masa kita nggak?
Arham, Kediri