RSS

Memaknai Tarbiyah


Istilah tarbiyah mungkin sudah akrab dengan kehidupan kita. Mungkin pula ia telah menjadi bagian penting dalam hidup kita. Atau mungkin, ia telah memakan seluruh waktu dan tenaga yang kita miliki. Lalu, seperti apakah tarbiyah?

Menurut Abdurrahman An-Nahlawi ada tiga akar kata untuk tarbiyah. Rabaa-yarbu yang bermakna bertambah dan berkembang. Rabiya-yarba yang bermakna tumbuh dan berkembang. Rabba-yarubbu yang bermakna memperbaiki, mengurusi, mengatur, menjaga dan memperhatikan.

Bagi gerakan yang didirikan Hasan Albana, tarbiyah memiliki sedikitnya tiga makna. Ia berakar dari kata Rabaa, Yarbuu, tumbuh. Tarbiyah menumbuhkan seseorang dari kekanakan ruh, kekanakan akal, dan kekanankan jasad menuju kematangan dan kedewasaan. Rabiya, Yurbii, berkembang. Tarbiyah mengembangkan manusia muslim dalam kemampuan-kemampuan yang dibutuhkannya menjalani kehidupan. Yaitu sebagai abdullah dan khalifah. Rabba, Yarubbu, memberdayakan. Ia yang telah tumbuh dan berkembang, harus diarahkan untuk berdaya guna.

Kita telah menjadi mutarabbi, memiliki murabbi, halaqah, jadwal liqa’ pekanan, dan lainnya. Namun apakah kita telah tarbiyah karena alasan-alasan tersebut? Apakah kita telah berubah? Apakah kita telah memiliki kemampuan mengubah? Sejauh manakah kita telah merasakan sakitnya perubahan? Sejauh mana pula kerelaan kita untuk berubah? Atau kita tetaplah kita yang dulu, tak berubah karena tarbiyah dan tak mengubah tarbiyah.

Eko Novianto, dalam refleksi mutarabbi menjelaskan, kita telah tarbiyah bila kita: Pertama, Terbuka terhadap perubahan. Seperti ulat, insan-insan tarbiyah bagaikan makhluk yang senantiasa bermetamorfosis. Ulat tarbiyah bukanlah ulat yang bertahan menjadi ulat. Ulat tarbiyah adalah ulat yang rela meninggalkan lezatnya dedaunan untuk sebuah masa depan.

Kedua, mampu bersikap tegas dan menghindarkan diri dari sikap agresif. Menjadi insan yang tegas tidak harus menumbuhkan agresivitas. Produk dari tarbiyah adalah insane yang tegas dalam prinsip, memiliki determinasi yang tinggi, sabar dan ulet. Serta tidak dapat dipropokasi untuk hal yang kontraproduktif.

Ketiga, menjadi pribadi yang proaktif. Proaktif dalam hal-hal yang bermanfaat tentunya, Nabi Muhammmad SAW berpesan, Bersungguh-sungguhlah kamu dalam hal yang memberikan manfaat dan janganlah kamu lemah/mudah menyerah.
Keempat, menjadi pribadi yang memiliki sikap mawas diri. Yaitu pribadi yang tidak mudah menyalahkan orang lain. Pribadi yang sangat sadar bahwa sebuah jamaah dakwah apapun adalah institusi manusia dengan segenap kemanusiannya. Sehingga proses tarbiyah dengan segenap sarananya haruslah sangat dekat dengan pelajaran-pelajaran mawas diri.

Kelima menjadi pribadi yang mandiri. Yaitu bukan manusia yang tergantung pada orang lain. Menilik kembali sejarah, ternyata para pahlawan kita memiliki jiwa merdeka dan jauh dari intervensi siapapun.

Keenam, sosok yang berperasaan, tapi tidak emosional. Kita siap menghadapi ujian, serta tidak mudah terpukul oleh sebuah kegagalan. Konon, dalam setiap menyongsong pertempuran, para samurai selalu menyiapkan diri untuk kalah.

Ketujuh, sanggup belajar dari kesalahan. Seseorang yng menjadikan kesalahan yng dilakukannya sebagai salah satu cara untuk belajar. Terpukul dan sakit adalah hal yang wajar ketika seseorang melakukan kesalahan. Hal yang tidak wajar adalah perasaan sakitnya membunuh kemampuan belajarnya.

Kedelapan, hidup dimasa sekarang, bersikap realistis dan berfikir relatif. Tentunya kita tidak menjadi bagian dari masa lalu, dan menjadi pribadi yang mampu berpikir realistis dan memiliki kemampuan untuk mengimplementasikan konsep atau idealismenya di dunia ini.

Semoga kita semua betul-betul bisa memaknai tarbiyah. Jangan sampai kita telah memiliki asfek formal tarbiyah (Murabbi, liqa pekanan, mendapat materi yang berkelanjutan) tetapi belum mencerminkan hasil yang diharapkan. Sebagaimana sosok yang sama persis dengan pribadi yang diinginkan tarbiyah.

0 komentar:

Posting Komentar